Siasatinfo.co.id Berita Kerinci – Pernikahan sedarah tradisi diwariskan para leluhur di Kerinci sepertinya tetap membudaya, antara anak paman dan bibik, kerabat dekat satu kalbu atau satu suku, sepupuan masih kentara.
Tradisi perkawinan sedarah memicu kasus stunting tinggi di Kabupaten Kerinci. Sebagian besar masyarakat Kerinci menganggap perkawinan sedarah adalah tradisi leluhur yang harus dilestarikan.
Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Provinsi Jambi 2015-2017, Kerinci adalah kabupaten dengan prevalensi tertinggi kejadian stunting.
Prevalensi kasus stunting di Kerinci pada 2015 sebesar 33,2 persen, pada 2016 sebanyak 36,1 persen dan pada 2017 sebesar 35,0 persen.
Menurut Ahli Epidemiologi Universitas Jambi, Ummu Kalsum, kasus stunting di Kerinci ini unik, perkawinan sedarah pemicu utama resiko stunting pada balita. Baru kemudian, ditambah faktor lain seperti ibu yang pendek, pengetahuan ibu dan pemberian ASI.
Hasil penelitian kita, kata Kalsum, menemukan di antara orang yang menikah sedarah, 77,6 persen balitanya stunting. Sedangkan orangtua yang tidak menikah sedarah, 42,9 persen balitanya stunting.
“Selisih risikonya adalah 34,7 persen. Jadi, Risiko stunting dalam perkawinan sedarah adalah sebesar 35 persen,” kata Kalsum dilansir siasatinfo.co.id pada kompas.com, Rabu (1/7/2020).
Proporsi kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan, sambung Kalsum, yang ditemukan di Puskesmas Semurup, Kabupaten Kerinci, sebesar 57,6 persen. Dari angka itu, tambah Kalsum, orangtua yang melaksanakan perkawinan sedarah 42,4 persen.
Distribusi perkawinan sedarah, kata Kalsum, dibagi tiga, yaitu menikah dengan saudara sepupu tingkat I (dari kakek/nenek) sebesar 13,9 persen, saudara sepupu tingkat II (dari buyut) sebesar 14,6 persen, dan saudara sepupu tingkat III (dari orangtua buyut) sebesar 13,9 persen.
Orangtua yang menikah sedarah di Kerinci memiliki risiko 3,45 kali lebih besar, kata Kalsum, apabila dibandingkan dengan orangtua yang tidak melakukan perkawinan sedarah.
“Kita sarankan agar masyarakat Kerinci tidak lagi melakukan perkawinan sedarah dan memperbaiki status gizi anak perempuan. Ya, karena dia kan calon ibu,” kata Kalsum menjelaskan.
Sebaliknya, Ahmad Yani, pelaku kawin sedarah generasi sepupu tingkat II mengaku perkawinan sedarah yang dia lakukan, bertujuan menguatkan hubungan kekerabatan agar lebih kuat.
Selain itu, sambung Yani, kebiasaan itu untuk mengikuti tradisi leluhur.
“Kita menikah keluarga ini, untuk melestarikan tradisi leluhur. Meneruskan adat, agar sampai ke anak cucu. Toh memang tidak ada yang dirugikan,” kata Yani menegaskan.
Dia menjelaskan tidak hanya persoalan meneguhkan kerabat, perkawinan sedarah ini juga banyak diyakini masyarakat Kerinci, untuk menghindari harta pusaka, jatuh ke tangan orang lain.
Ketika disingung soal perkawinan sedarah menyebabkan stunting, Yani menyatakan dengan tegas, anaknya perempuan, tumbuh dengan baik dan sehat. Bahkan pada usia 4 tahun, tingginya melebihi anak-anak dengan orangtua yang menikah non sedarah.
Selanjutnya, DA, warga Siulak, memilih menikahi perempuan Jawa, bukan berasal dari keluarga untuk memperbaiki keturunan dan memperluas kekeluargaan. Bahkan DA menolak dengan tegas tradisi perjodohan sesama kerabat.
“Rasanya gimana ya. Kurang pas kalau menikah dengan sepupu sendiri atau masih ada hubungan saudara. Saya berpikir bebas dan terbuka. Jadi ya, lebih suka sama orang asing, untuk menjadi istri,” kata DA lagi.
DA mengaku pernikahan dia dengan orang asing bukan berarti ingin menghancurkan tradisi leluhur. Tetapi, ada yang lebih penting dari menikah sedarah, seperti tradisi Ketika ditanya apakah menikah dengan orang asing, adalah bagian dari menghindari stunting, DA mengaku tidak mengetahui, kalau ada hubungan menikah sedarah dengan risiko stunting.(Jm/Red).